Pesantren, Subkultur, dan Terorisme
Editor: Egidius Patnistik - Kompas.com
Beberapa waktu lalu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melansir hasil risetnya tentang pesantren dan terorisme. Ditemukan fakta bahwa 198 pesantren terafiliasi dengan gerakan radikalisme dan terorisme. Sebagian pihak menolak temuan ini. Namun sebagian yang lain mengamini dengan catatan.
Catatan yang dimaksud ialah bahwa pesantren yang
terindikasi radikal tersebut bukanlah pesantren mainstream yang sejak awal
bersifat moderat. Artinya, pesantren-pesantren radikal tersebut hanya
menggunakan nama pesantren, sedangkan ajaran, nilai dan budayanya, justru
bertentangan dengan pesantren.
Lalu bagaimanakah budaya
pesantren yang hakiki, yang berbeda dengan corak radikal dari
pesantren-pesantren temuan riset BNPT? Inilah yang perlu kita pahami agar tidak
mudah menyamakan lembaga pendidikan Islam yang menjadi “sarang radikalisme”,
dengan pesantren yang justru menjadi basis bagi kontra radikalisme.
Subkultur pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang berakar pada model lembaga pendidikan khas Nusantara pra-Islam. Menurut Agus Sunyoto (2015), pesantren berakar pada sistem pendidikan Mandala yang merupakan lembaga pendidikan era Hindu-Buddha.
Istilah santri sendiri berakar dari kata shastri yang artinya pengkaji shastra. Sedangkan makna shastra tersebut ialah kitab suci. Dengan demikian, shastri ialah pengkaji kitab suci, sedangkan pesantren merupakan lembaga pendidikan para shastri (santri).
Keberadaan asrama di mana para santri (shastri) tinggal dan hidup dalam pesantren, membuahkan proses pendidikan menyeluruh. Dalam pesantren, agama tidak hanya dididikkan secara kognitif, tetapi juga afektif dan psiko-motorik. Dimensi psiko-motoriknya juga bersifat khas, yakni etis-spiritual.
Itulah mengapa jauh hari, KH Abdurrahman Wahid (1979) menyebut pesantren sebagai subkultur, yakni sub dari kultur mainstream yang unik, mandiri namun bisa mempengaruhi, bahkan mengubah kultur mainstream.
Sebagai subkultur, pesantren memiliki beberapa ciri yang jauh dari
radikalisme, apalagi terorisme.
Pertama, sistem nilai yang unik
yang disebut zuhud (asketisisme). Zuhud merupakan nilai yang mengacu pada
pemuliaan kehidupan akhirat dengan menjadikan dunia sebagai jalan menuju
kesuksesan akhirat. Maka bagi santri, kesuksesan duniawi hanyalah sarana bagi
kesuksesan ukhrawi. Pemuliaan terhadap kehidupan akhirat ini yang membuat warga
pesantren memuliakan agama.
Dari sini mungkin bisa muncul
pertanyaan, “Bukankah para teroris juga memuliakan akhirat sehingga berani mati
syahid?” Pada titik inilah perbedaan antara pemahaman keislaman kaum teroris
dengan pesantren, terutama tentang jihad.
Bagi para teroris, jihad diartikan sebagai perang (qital) melawan pihak-pihak yang dianggap memusuhi Islam, seperti negara-negara Barat, non-Muslim, termasuk pemerintahan Muslim namun tidak menerapkan syariah Islam.
Hal ini yang berbeda dengan pemahaman pesantren tentang jihad yang lebih bersifat ke dalam diri, yakni jihad dalam memerangi hawa nafsu. Hal ini terkait dengan pemahaman terhadap sistem nilai di dalam Islam, di mana akidah yang diopersionalkan dalam bentuk syariah harus dipraktikkan dalam bentuk akhlak.
Jadi, muara utama berislam adalah
perbaikan akhlak, etika dan perilaku sebagaimana pengutusan Nabi Muhammad SAW
dengan tugas penyempurnaan akhlak (liutammima makarim al-akhlaq). Perbaikan
akhlak ini hanya bisa dilakukan melalui pembersihan hati (tazkiyah al-nafs)
yang ditempuh melalui tasawuf dan tarekat.
Sistem nilai keislaman yang moderat ini berbeda dengan mazhab keislaman kaum radikal dan teroris. Bagi mereka, akidah dan syariah harus diwujudkan melalui negara, baik dalam bentuk Negara Islam Nasional (daulah Islamiyyah) maupun Negara Islam Internasional (Khilafah Islamiyyah).
Artinya, untuk berislam secara total, kaum radikal
menjadikan politik sebagai jalan bagi proses berakidah dan bersyariah. Padahal
tidak seperti itu. Untuk berakidah dan bersyariah, seorang Muslim bisa
menempuhnya tanpa bantuan negara. Sebab proses menjadi hamba Tuhan yang saleh,
selalu berangkat dari komitmen psikis untuk berjalan menuju kepada-Nya.
Ciri kedua dari subkultur pesantren adalah pola perilaku yang unik yang lahir dari sistem nilai unik di atas. Untuk hal ini Gus Dur mencontohkan pembagian waktu di pesantren berdasarkan pembagian shalat lima waktu.
Artinya di pesantren pembagian waktu mengikuti
shalat lima waktu. Misalnya, setelah shalat shubuh mengadakan ngaji dengan
kiai, demikian setelah shalat dhuhur, ashar, maghrib dan isyak. Santri baru
beristirahat setelah pengajian ba’da isyak, sehingga untuk “urusan rumah
tangga” seperti mencuci baju tidak jarang dilakukan pada malam hari.
Semua pola perilaku tersebut dilakukan demi memusatkan kegiatan pada pengajian (pendidikan) yang merupakan inti kegiatan pesantren.
Dalam kaitan ini, pola perilaku tersebut didorong oleh
suatu karakter keislaman yang disebut fikih-sufistik. Artinya, perilaku
keagamaan yang bersifat fikih secara eksoterik, namun sufistik secara esoterik.
Warga pesantren merupakan kaum Muslim yang sangat taat dengan syariah pada
dimensi rasional, individual dan sosial. Akan tetapi menghayati syariah melalui
pemahaman dan pengamalan tasawuf (spiritualitas) pada level psikologis.
Karakter fikih-sufistik yang berarti penggabungan dimensi eksetorik dan esoterik inilah yang membuat keislaman pesantren bersifat moderat dan dinamis, tidak sebagaimana kaum radikal dan teroris.
Misalnya, dalam rangka mengamalkan syariah, warga
pesantren tidak harus mendirikan Negara Islam, karena pengamalan tersebut
justru harus dilakukan dalam bentuk spiritualitas berupa pembersihan hati. Hal
ini berbeda dengan kaum radikal yang mensyaratkan peran negara dalam penerapan
syariah yang bersifat simbolik.
Moderatisme pesantren juga
disebabkan oleh penggunaan filsafat hukum Islam (ushul fiqh) dan kaidah bahasa
(ilmu al-nahwi wa al-sharfi) dalam memahami teks agama untuk merumuskan dan
menerapkan syariah. Oleh karenanya, alih-alih memaksakan penegakan syariah
sebagai konstitusi, warga pesantren lebih merumuskan dan menerapkan syariah
berdasarkan prinsip-prinsip kebijaksanaan dalam tujuan utama syariah (maqashid
al-syari’ah) itu sendiri.
Inilah yang membuat Kiai Wahid Hasyim misalnya, berkenan menghapus frasa “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan frasa “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada 18 Agustus 1945 sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Penghapusan itu didasarkan oleh Kiai Wahid pada kaidah fikih: menghindari kerusakan lebih utama daripada mengejar kebaikan (dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih). Menghindari pecahnya persatuan bangsa lebih diutamakan daripada menyematkan syariah Islam dalam dasar negara.
Ciri khas sub-kultur pesantren ketiga ialah kepemimpinan kiai, berupa kepemimpinan intelektual, moral, spiritual dan sosial. Dalam kaitan ini, kiai merupakan teladan sempurna bagi penguasaan keluasan ilmu-ilmu keislaman yang bijak tersebut, serta teladan spiritual yang dipraktikkan secara etis baik dalam ranah individual, sosial dan bernegara.
Peran pesantren
Dengan demikian, beberapa pesantren radikal yang ditemukan BNPT tersebut jelas bukan bagian dari pesantren asli Nusantara. Nama lembaga-lembaga pendidikan itu boleh mengatasnamakan pesantren, namun selama tidak mencerminkan subkultur pesantren di atas, maka ia bukan pesantren. Hal ini akan menarik jika dilakukan riset secara obyektif, ilmiah dan komprehensif.
Sebaliknya, pesantren selama ini telah menjadi garda terdepan bagi penguatan "moderatisme" Islam dan tentu juga kontra-radikalisme. Sebab sebagaimana Nahdlatul Ulama (NU) sebagai rumah besar pesantren Indonesia yang merupakan organisasi Islam terbesar pembentuk moderasi beragama, maka pesantrenlah yang merupakan akar rumput dari NU.
Jika terdapat pesantren yang
radikal dan bertentangan dengan karakter pesantren dan NU, tentu menimbulkan
anakronisme. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap sejarah
serta karakter utama dari subkultur pesantren tersebut, jika ingin mengaitkan
pesantren dengan isu radikalisme yang mengarah pada tindak pidana teroris di
Indonesia.
Wallahu a’lam.