Kompolnas Berpesan Penerapan RJ Perlu Diawasi
Jakarta - Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) berpesan kepada aparat penegak hukum agar berhati-hati
memberlakukan pendekatan restorative justice (RJ) dalam menyelesaikan perkara
pidana.
Hal tersebut disampaikan oleh juru
bicara Kompolnas Poengky Indarti, menurutnya, RJ sangat rentan disalahgunakan
dan masih banyak aparat penegak hukum yang tidak paham tipologi kasus bisa
diterapkan dengan RJ.
"Celakanya lagi terkadang
ada dugaan RJ dilakukan dengan motif pragmatis, yakni kasus segera selesai dan
ada keuntungan. Penyidik juga rentan kurang memahami RJ, misalnya, kasus
perkosaan diselesaikan melalui RJ, seperti kasus di Serang," kata Poengky,
Selasa (15/3/2022).
Kasus yang dimaksud Poengky ialah
dugaan pemerkosaan terhadap seorang gadis penyandang disabilitas di Serang,
Banten. Kasus itu ditangani Polres Serang pada awal Januari 2022. Belakangan,
Polres Serang menghentikan penyidikan lantaran laporan dicabut.
Saat ini, penyidik yang menempuh
jalan damai dalam kasus tersebut tengah diperiksa Polda Banten. Kasus itu
dipersoalkan Kompolnas lantaran perkosaan bukan delik aduan yang tidak
sepatutnya dihentikan penyidikannya karena alasan keadilan restoratif.
Meski masih punya beragam celah,
Poengky sepakat pendekatan RJ perlu diarusutamakan untuk penanganan kasus-kasus
pidana kecil. Menurut dia, pendekatan tersebut bisa membantu Polri mencegah
penumpukan perkara dan mengurangi overkapasitas di lapas.
"Penyelesaian
perkara-perkara ringan agar tidak berlarut-larut. Tapi, tidak hanya di
kepolisian saja yang menerapkan RJ, kejaksaan dan pengadilan juga perlu
menerapkan RJ," kata eks Direktur Eksekutif Imparsial itu.
Menurut catatan Polri, ada 11.811
perkara pidana ringan yang diselesaikan menggunakan mekanisme RJ sepanjang
2021. Adapun di kejaksaan, tercatat ada 821 perkara di seluruh Indonesia
diselesaikan melalui cara tersebut sejak peraturan Jaksa Agung RI No. 15/2020
dirilis.
Guru besar hukum pidana dari
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Hibnu Nugroho setuju pendekatan RJ
perlu jadi perspektif aparat penegak hukum di semua instansi yang berwenang
menangani perkara. Khusus di kepolisian, RJ diberlakukan untuk memaksimalkan
peran Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).
"Jadi, (perkara) belum masuk
ranah hukum. Jaksa harus melihat jenis tindak pidananya perbuatannya sehingga
tidak dilakukan. Apakah perlu dilanjutkan ke pengadilan atau diselesaikan
dengan RJ," kata Hibnu kepada Alinea.id, Senin (13/3/2022)
Hibnu menjelaskan pendekatan RJ
merupakan hal yang lazim dipraktikan di negara-negara yang menganut common law.
Dengan mengadopsi RJ, Hibnu berharap pola pikir penegak hukum saat menghadapi
kasus-kasus pidana "receh" juga turut berubah. Sederhananya, Hibnu
menyebut 'pencuri ayam tak perlu masuk penjara.'
"Saya rasa perkembangan baru
itu harus direspons dengan cara berpikir yang baru. Jangan pakai cara berpikir
lama untuk melihat perkara-perkara saat ini. Sebab, pada dasarnya hukum
bergerak ke depan sesuai dengan dinamika masyarakat," kata Hibnu.