Efek Berlipat Eksistensi Srikandi Polri
Menginjak usia ke-73 polwan, jumlah polwan masih belum
memadai. Belum banyak pula yang menduduki jabatan strategis. Eksistensi polwan
penting sebagai katalis untuk reformasi institusi selain sederet manfaat
positif lain.
Oleh: KURNIA
YUNITA RAHAYU
Menginjak usia ke-73, polisi wanita atau polwan pada 1
September 2021, jumlah polwan belum memadai. Belum banyak pula yang menduduki
jabatan strategis di institusi Polri. Padahal, eksistensi polwan dinilai
penting sebagai katalis untuk reformasi institusi selain sederet manfaat
positif lainnya.
Pada 1 September 1948, untuk pertama kalinya Sekolah Polisi
Negara (SPN) Bukittinggi, Sumatera Tengah, kedatangan murid perempuan. Enam
gadis lulusan sekolah menengah ada di tengah-tengah 44 siswa laki-laki lainnya
untuk mengikuti pendidikan inspektur polisi. Mereka adalah Mariana Saanin,
Nelly Pauna, Rosmalina Loekman, Dahniar Sukotjo, Djasmainar, dan Rosnalia
Taher.
Enam remaja berdarah Minang itu terpilih dari sejumlah warga
lain yang mengikuti seleksi menjadi polisi wanita. Kala itu, Republik Indonesia
yang baru berdiri dan masih terus menghadapi perang mempertahankan kemerdekaan
membutuhkan peran perempuan untuk memeriksa perempuan yang terlibat dalam kasus
kriminal ataupun pengungsi yang kerap dimanfaatkan penjajah sebagai mata-mata.
Umumnya perempuan menolak diperiksa polisi laki-laki (polki).
Oleh karena itu, sejumlah organisasi perempuan mengusulkan
kepada pemerintah agar mengikutsertakan wanita dalam pendidikan kepolisian.
Usulan tersebut direspons oleh Cabang Djawatan Kepolisian Negara untuk Sumatera
yang berkedudukan di Bukittinggi. Merujuk catatan tertulis di Museum Polri,
Jakarta, hari pertama keikutsertaan enam siswi di SPN Bukittinggi kelak
ditetapkan sebagai hari lahirnya polisi wanita (polwan).
Namun, pendidikan kepolisian yang diikuti enam siswi itu
tidak mulus. Indikasi serangan dari Belanda yang masih ingin kembali menjajah
mulai muncul di ibu kota RI Yogyakarta. Oleh karena itu, sejak November 1948,
para menteri dan pejabat negara mulai diungsikan ke Bukittinggi untuk
mempersiapkan kondisi darurat. Adapun Bukittinggi, merupakan daerah alternatif
yang memang disiapkan sebagai jantung pertahanan RI jika Jawa diserang. Oleh
karena itu, seluruh unsur pemerintah, Tentara Nasional Indonesia (TNI),
kepolisian, maupun rakyat Bukittinggi mulai bersiap menghadapi perang.
Perang yang diprediksikan akhirnya pecah pada 19 Desember
1948. Belanda melalui Agresi Militer II-nya melancarkan serangan serentak di
Jawa dan Sumatera. Sasaran utamanya adalah menduduki Yogyakarta untuk menawan
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Adapun di Sumatera, mereka
mengincar Bukittinggi.
Dalam kondisi tersebut, praktis SPN ditutup, pendidikan
kepolisian pun terhenti. Kota Bukittinggi dikosongkan dan beberapa bagian
dibumihanguskan. Sejumlah pejabat di antaranya Menteri Kemakmuran Sjafroeddin
Prawiranegara, Komisaris Negara untuk Urusan Keuangan Lukman Hakim, dan Ketua
Komisariat Pemerintah Pusat untuk Sumatera TM Hassan meninggalkan kota itu
menuju Halaban dan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
yang kedudukannya berpindah-pindah. Karena itu, ketika pasukan Belanda memasuki
Bukittinggi pada 22 Desember 1948, mereka hanya menemukan kota kosong yang tak
berpenghuni.
Sekalipun pendidikan terhenti, para siswi SPN Bukittinggi
menunjukkan peran di masa perang. Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi dalam buku
Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa Gubernur di Tengah
Pergolakan menuturkan, bersamaan dengan pengosongan Bukittinggi, sejumlah
kesatuan Mobil Brigade (Mobrig) membangun basis pertahanan di Palupuh, sekitar
20 kilometer ke utara Bukittinggi. Salah satunya kesatuan Mobil Brigade Besar
(MBB) Sumatera Tengah yang dipimpin Inspektur Polisi I Raden Yusuf, yang
berstatus di bawah Kepolisian Negara Cabang Sumatera.
”Ikut bergabung dalam pasukan Mobrig ini tiga polisi wanita,
yaitu Rosmalina, Jasmaniar, dan Nelly Pauna,” tulisnya.
Selama Agresi Militer Belanda II berlangsung, front Palupuh
beberapa kali mendapatkan gempuran hingga jatuh banyak korban. Akan tetapi,
basis ini tidak pernah berhasil ditembus musuh. Para pejuang, termasuk tiga
siswi SPN Bukittinggi, mampu mempertahankan front yang sengaja didirikan untuk
melindungi kedudukan PDRI di Suliki dan menghambat bergabungnya pasukan Belanda
di Bukittinggi dengan pasukan yang berada di Tapanuli Selatan.
Pasca-Agresi Militer Belanda II dan pengakuan kedaulatan
Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, enam calon polwan
dari Bukittinggi itu baru dapat kembali meneruskan pendidikan. Pada 19 Juli
1950, mereka kembali bersekolah di SPN Sukabumi. Di sana, mereka mempelajari
ilmu kemasyarakatan, pendidikan, pedagogi, sosiologi, dan psikologi. Selain
itu, mereka juga berlatih anggar, jujitsu, judo, dan latihan militer.
Pendidikan mereka tuntas setahun kemudian. Selain menjadi
anggota polwan pertama, enam srikandi ini juga merupakan anggota Angkatan
Bersenjata RI perempuan pertama.
Pada 1 Mei 1951, keenamnya ditugaskan di Djawatan Kepolisian
Negara dan Komisariat Polisi Jakarta Raya. Adapun tugas yang diberikan khusus
terkait wanita, anak-anak, dan masalah sosial. Mereka diminta mengusut,
memberantas, dan mencegah kejahatan yang dilakukan oleh atau terhadap perempuan
dan anak; membantu polisi mengusut dan memeriksa fisik terdakwa atau saksi
perempuan; serta mengawasi dan memberantas pelacuran, perdagangan perempuan dan
anak-anak. Mereka bertugas hingga pensiun dengan jabatan kolonel polisi.
Minim perekrutan
Setelah perekrutan enam anggota pertama, hampir tidak ada
catatan tertulis ihwal pengembangan polwan. Bahkan, hari jadi 1 September 1948
pun baru dirayakan untuk pertama kali 25 tahun setelahnya, yakni pada 1
September 1973. Selama seperempat abad, keterlibatan perempuan di kepolisian
tidak bertambah signifikan. Tercatat jumlah polwan adalah 933 orang (Kompas,
29/8/1973).
Catatan Kompas, urgensi penambahan personel polwan pertama
kali dinyatakan pada perayaan HUT Ke-30 Polwan, yakni tahun 1978. Kapolri
Jenderal (Pol) Widodo Budidarmo mengatakan, penambahan tenaga polwan diperlukan
untuk meningkatkan kekuatan Polri, hingga mencapai 2 persen dari total jumlah
personel kepolisian. Sebab, pertumbuhan masyarakat berdampak ke segala bidang,
termasuk kejahatan dan gejala sosial lain yang lebih membutuhkan peran polwan.
Saat itu, jumlah polwan mencapai 1.100 orang atau bertambah 167 orang
dibandingkan lima tahun sebelumnya (Kompas, 2/9/1978).
Sejak tahun 1965, penerimaan polwan lewat Akademi Angkatan
Kepolisian (AAK) pun dihentikan karena menyesuaikan dengan ABRI yang tidak
menerima taruni.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky
Indarti mengatakan, minimnya jumlah polwan merupakan dampak dari penggabungan
kepolisian dengan TNI ke dalam ABRI pada 1961. Sejak tahun 1965, penerimaan
polwan lewat Akademi Angkatan Kepolisian (AAK) pun dihentikan karena
menyesuaikan dengan ABRI yang tidak menerima taruni. Akademi Kepolisian (Akpol)
baru merekrut polwan kembali pada tahun 2002 pasca-reformasi.
Selama tidak ada perekrutan di jalur Akpol, penerimaan
polwan hanya dilakukan melalui jalur setingkat sarjana dan sarjana muda di
Sekolah Perwira Militer Wajib (Sepamilwa). Kemudian pada 1975, Sekolah Anggota
Kepolisian RI di Ciputat, Jakarta, yang saat itu ada di bawah Komdak VII Jaya
membuka kelas khusus untuk bintara polwan pada 1975. Tahun 1982, kelas itu
diperluas menjadi Pusat Pendidikan Polisi Wanita (Pusdik Polwan), lalu pada
1984 kembali diubah menjadi Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan).
”Keberadaan Sepolwan ini yang meningkatkan animo warga untuk mendaftar sebagai polwan hingga hari ini,” tutur Poengky, Kamis (2/9/2021).
Meski demikian, proporsi jumlah polwan masih jauh
dibandingkan polki. Merujuk laporan Organisasi Polisi Kriminalitas
Internasional (Interpol), Badan PBB untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan
Perempuan (UN Women), dan Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC)
bertajuk Perempuan dalam Penegakan Hukum di Wilayah ASEAN yang terbit pada
2020, persentase polwan di Polri pada 2019 adalah 6 persen dari total petugas
kepolisian. Proporsi itu merupakan yang terendah di seluruh Asia Tenggara.
Selain terendah, laporan itu juga menguak tidak adanya strategi gender di
Polri.
Mengacu pada data sumber daya manusia (SDM) Polri, saat ini
jumlah polwan 24.722 orang atau hanya 5,93 persen dari total jumlah polisi
416.414 orang. Sebanyak 22.826 polwan di antaranya bertugas di markas besar dan
1.896 lainnya di kepolisian daerah. Dari segi kepangkatan, 3 polwan berpangkat
brigadir jenderal, 1.477 perwira menengah, 3.412 perwira pertama, dan 19.830
bintara.
Perlu lebih banyak
Kapolri 2016-2019 Jenderal (Pol) Tito Karnavian saat upacara
HUT Ke-70 Polwan pada 2018 pernah menyampaikan, jumlah ideal polwan sekitar 10
persen dari total personel polisi. Kompas (4/9/2018)
Adapun menurut Poengky, jumlah polwan yang ada saat ini
sangat ironis terlebih jika melihat jumlah penduduk perempuan yang hampir
separuh dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270 juta jiwa.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk Indonesia
adalah 270.203.917 jiwa, dengan penduduk laki-laki 136,6 juta jiwa (51 persen)
dan penduduk perempuan 133,54 juta jiwa (49 persen). ”Dengan proporsi ini,
sangat diperlukan jumlah polwan yang lebih banyak untuk menangani
masalah-masalah yang berkaitan dengan perempuan,” ujarnya.
Menurut Poengky, polwan mampu mengemban tugas yang sama
dengan polki. Berkaca dari sejarah, polwan mampu berperan dalam mempertahankan
kemerdekaan. Hambatan dalam perekrutan pun merupakan imbas politik pemerintah.
”Oleh karena itu, sangat penting jika ada kebijakan
affirmative action bagi polwan. Kompolnas merekomendasikan agar kuantitas
rekrutmen polwan ditingkatkan, baik di jalur Sepolwan, Akpol, maupun SIPSS,”
kata dia.
Selain itu, Polri semestinya memberikan kesempatan pembinaan
karier yang sejajar dengan polki. Saat ini, Polri hanya memiliki tiga brigadir
jenderal polwan yang masih aktif. Baru satu polwan yang pernah menjabat sebagai
Kapolda, yakni Brigjen (Pol) Rumiah Kartoredjo, Kapolda Banten 2008-2010. ”Kami
merekomendasikan agar lebih banyak polwan dapat menduduki posisi strategis di Polri,”
kata Poengky.
Inspektur Jenderal (Purn) Basaria Pandjaitan, satu-satunya
personel yang pernah mencapai pangkat bintang dua sepanjang sejarah polwan,
mengatakan, saat ini kesempatan bagi polwan untuk mengembangkan diri sudah
terbuka. Anggota polwan bisa mengisi lini penugasan apa pun, baik di bidang
operasional maupun pembinaan. Oleh karena itu, kesiapan dan profesionalitas
secara individu merupakan tantangan yang harus dijawab setiap anggota.
”Polwan harus benar-benar mengisi kemampuannya,” katanya.
Erik Fritsvold, Direktur Akademik Program Magister Penegakan
Hukum dan Kepemimpinan Keamanan Publik University of San Diego, California,
Amerika Serikat, dalam publikasi di laman daring
https://onlinedegrees.sandiego.edu/ mengatakan, perekrutan lebih banyak
perempuan dalam institusi penegak hukum memang diperlukan. Sebab, keberadaan
perempuan setidaknya akan memberikan tiga dampak positif, di antaranya
mengurangi penggunaan kekuatan berlebih di tengah kecenderungan kekerasan yang
dilakukan anggota polisi kepada warga.
Perekrutan lebih banyak polwan akan berkontribusi sebagai
katalis untuk melakukan reformasi institusi. Hal itu juga memungkinkan para
petugas dan pimpinan jajaran penegak hukum untuk bersikap lebih reflektif
tentang tantangan yang tengah dihadapi.
Kehadiran polwan, menurut Fritsvold, juga akan menghasilkan
perbedaan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan kejahatan
seksual. Selain itu, polwan dinilai mampu membantu membangun hubungan yang
lebih baik antara polisi dan masyarakat. Menyitir The Washington Post, selama
40 tahun terakhir di AS terdapat kecenderungan bahwa polwan mampu berkomunikasi
dengan lebih baik dan dapat meredakan konfrontasi sebelum berpotensi mematikan.
Sementara itu, para peneliti yang menyusun laporan Perempuan
dalam Penegakan Hukum di Wilayah ASEAN tahun 2020 berpendapat, perekrutan lebih
banyak polwan akan berkontribusi sebagai katalis untuk melakukan reformasi
institusi. Hal itu juga memungkinkan para petugas dan pimpinan jajaran penegak
hukum untuk bersikap lebih reflektif tentang tantangan yang tengah dihadapi,
serta lebih terbuka untuk memulai perubahan budaya secara sistematis.
”Kehadiran dan kepemimpinan perempuan juga cenderung
mengurangi pelecehan seksual yang sebelumnya cukup jamak terjadi di beberapa
lembaga kepolisian,” tulis mereka.
Terlepas dari kekurangan yang ada, Kapolri Jenderal (Pol)
Listyo Sigit Prabowo saat acara syukuran HUT Ke-73 Polwan, Rabu lalu, menilai,
polwan terus menunjukkan eksistensi dan kiprahnya. Baik di bidang operasional,
pembinaan maupun pengawasan. Tak terkecuali saat bangsa menghadapi pandemi
Covid-19, polwan turut andil dalam mengedukasi publik terkait protokol
kesehatan, pemulasaran jenazah pasien Covid-19, hingga turut serta
mengakselerasi vaksinasi.
”Tentunya harapan kita dan di situlah peran Polri
dibutuhkan, khususnya polwan, kita harapkan bisa memberi warna dengan
keluwesannya, namun juga kita harapkan tegas. Tapi karena ada karakter
kewanitaannya akan jauh lebih humanis,” ujarnya.
Eksistensi polwan juga terlihat dari berbagai jabatan dan
posisi strategis yang sudah mulai diisi oleh personel polwan. ”Apabila dulu ada
senior pernah menjabat kapolda saat ini ada yang menjabat pejabat utama,
wakapolda, kepala biro, direktur, menjadi kapolres, wakapolres, kapolsek, dan
menjadi anggota yang bertugas di lini terdepan,” tutur Listyo.
Terkait problem jumlah polwan dan pembinaan karier polwan,
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol)
Rusdi Hartono mengatakan, Polri akan terus berbenah. ”Polri akan senantiasa
berbenah diri untuk meningkatkan dari segi kuantitas ataupun pembinaan karier,
yakni dengan semakin banyak memberi kesempatan bagi polwan menempati jabatan
strategis sesuai dengan kompetensinya,” ujarnya. []
Editor: Madina
Nusrat, Antonius Ponco Anggoro
Repost: Kompas,
5 September 2021, hlm. 2.
Link: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/09/05/efek-berlipat-eksistensi-srikandi-polri/